Gerilya Republik Di Kota Probolinggo

Di Probolinggo seperti juga di daerah-daerah lain, keberpihakan rakyat umum kepada Republik adalah modal dasar paling penting.

Rp 70.000

Gerilya Republik Di Kota Probolinggo

Category

Di Jawa Timur, Agresi Militer Belanda I berhasil gemilang, sama dengan semua medan operasinya. Akan tetapi, kemenangan tempur Belanda yang begitu menghancurkan itu justru menambahkan kesadaran baru bagi siasat perjuangan TNI.

Konsep pertempuran gerilya adalah jawaban yang harus segera dilaksanakan. Front tidak lagi terpaku pada garis depan dan belakang. Dalam gerilya tidak ada kata “maju” atau “mundur”. Karena semuanya menjadi garis depan. Semuanya adalah Front.

Selain itu, semangat dan keberanian tempur harus juga dikalkulasikan dengan resiko yang bakal dihadapi, baik bagi prajurit TNI maupun bagi desa-desa atau wilayah yang menjadi penyangga dan secara langsung dapat merasakan ekses dari diadakannya gerilya. Sebab, kehilangan kepercayaan dari rakyat berarti sama seperti anak yang kehilangan induknya, TNI bisa kehilangan segala-galanya.

Untuk melawan strategi penghancuran (annihilation strategy) yang dianut Belanda, TNI menggunakan strategi penjemuan (attrition strategy). Bagi Belanda, strategi perang terutama ditujukan pada penghancuran Angkatan Perang Republik. Mereka meyakini bahwa, dengan hancurnya TNI maka maksud dan tujuan politik dapat lebih mudah dicapai, kemudian baru tujuan ekonomi dapat pula dicapai.

Di Probolinggo seperti juga di daerah-daerah lain, keberpihakan rakyat umum kepada Republik adalah modal dasar paling penting. Namun, soal keberpihakan ini adalah perkara yang juga hendak diperebutkan oleh Belanda. Dan, untuk Belanda, sesudah Kota Probolinggo berhasil diduduki melalui Agresi Militer Belanda I tanggal 21 Juli 1947, sikap rakyat sudah tidak bersahabat.

Penderitaan akibat penindasan asing sudah menjadi trauma yang mengurat-daging bagi rakyat di Probolinggo. Maka, ketika terbuka peluang untuk merdeka, segenap rakyat tidak akan membiarkannya berlalu begitu saja.

Di Probolinggo, sama seperti dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, kemudian pecah pertarungan yang bukan saja berisi tembak-menembak, tetapi juga operasi psikologis untuk merebut dukungan rakyat. Ari Sapto, penulis buku ini, mampu membedahnya dalam persepsi yang begitu lengkap. Semua komponen yang terlibat dibahasnya. Dari orang kecil hingga elite bangsawan dan priyayi, dari kulit putih, kulit kuning, dan kulit coklat.

Weight 300 g