Korps Marsose dan Perang Belanda di Aceh
Peraang Belanda di Aceh yang berlangsung berkepanjangan dan sangat menguras kas negara Belanda merupakan beban yang tertimbun di atas para perwira militer Belanda yang menjabat sebagai gubernur militer Aceh. Selama perang Belanda di Aceh dalam agresi pertama atau yang kedua saja, Belanda hanya bisa menguasai Banda Aceh dan Aceh Besar saja. Taktik gerilya yang diterapkan pejuang Aceh benar-benar menyulitkan dan membuaat frustasi Belanda.
Sejak agresi yang pertama 1873, Aceh telah membuktikan bahwa, terhadap Belanda, Aceh tak sudi mengakui kedaulatannya atau bahkan tunduk terhadap mereka. Sikap ini menjadikan Aceh sebagai satu-satunya wilaayah di Nusantara-Indonesia kemudian, yang paling sulit dditaklukkan. Setidaknya membutuhkan waktu dan pengorbanan yang tak terkira jumlahnya bagi Belanda agar bisa menduduki Aceh.
Belanda sejatinya yang begitu gagap menghadapi militasi, keberanian dan fanatisme rakyat Aceh frustasi dan nyaris kehilangan harapan untuk menaklukan Aceh. Serangan mereka tak terduga , sporadis, dan seringkali dilakukaan untuk bertempur man to man, lalu jika suddah dianggap cukup, dengan segera mereka menghilang di tengah kegelapan.
Kemudian dibentukklah unit pasukan khusus untuk mengatasi perlawanan gerilya (kontra-gerilyya) yang dijalankan oleh pejuaang Aceh. Korps ini kemudian dinamakan Marechausse atau Korps Marsose. Pasukan dengan kemamppuan individu di atas rata-rata serdadu reguler, memiliki mobilitas yaang tinggi, berani, selalu bertempur jarak dekat, dan akan mengejar musuhnya dengan taktik penjemuan, sekalipun mereka harus masuk jauh ke hutan-hutan pedalaman Aceh yang selama ini tak sanggup dilakukan oleh serdadu reguler Belanda, KNIL.
Namun demikian, Aceh, bagi para serdadu satuan tempur Khusus Marsose mengenangnya sebagai sebuah paradoks; ladang pembantaian musuh sekaligus kuburan yang mereka gali untuk mereka sendiri. Aceh baanyak dikenang dalam kegetiran, dalam kesayuaan. Mereka banyak menorehkan kegemilaangan dalam pertempuran, namun mereka pula terkenang akan keberanian pejuang Aceh.
“Wilayah boleh diiduduki, namun untuk tunduk, rakyat Aceh benar-benar tak sudi.”
Penulis : Prasetya Ramadhan
Ukuran : 14 x 21 cm
Halaman : 230 halaman
Tahun Terbit 2021